Tertipu Startup Bodong Rp2,7 T, Bank Ini Kena Peras di Persidangan Cahaya Cinta, November 21, 2025 JPMorgan Mengungkap Modus Startup Bodong yang Menjerat Bank Rp 2,7 Triliun Meta Description (YOAST) Kasus penipuan startup Frank membuat JPMorgan merugi hingga Rp 2,7 triliun. Artikel ini menjelaskan bagaimana Charlie Javice menipu bank, memakai dana hukum untuk hidup mewah, serta konflik baru di persidangan. Focus Keyphrase (YOAST) penipuan startup frank jpmorgan Slug URL penipuan-startup-frank-jpmorgan JPMorgan Menjelaskan Modus Penipuan Startup Frank JPMorgan kembali mengungkap fakta mengejutkan terkait kasus startup Frank yang merugikan bank hingga US$175 juta atau sekitar Rp 2,7 triliun. Pendiri Frank, Charlie Javice, terbukti merekayasa data pengguna untuk menjual startup tersebut kepada JPMorgan. Setelah kasus diusut, pengadilan memvonis Javice lebih dari tujuh tahun penjara. Meskipun vonis sudah dijatuhkan, rangkaian persidangan justru memunculkan fakta baru tentang bagaimana Javice memanfaatkan celah kontrak akuisisi untuk membebankan biaya hukumnya kepada JPMorgan. Pengacara Mengungkap Penggunaan Dana yang Tidak Wajar Dalam persidangan terbaru, tim hukum JPMorgan memaparkan bahwa Javice memakai dana tanggungan bank bukan hanya untuk membayar pengacara, tetapi juga untuk menikmati fasilitas mewah. Ia membiayai upgrade kamar hotel mahal, menikmati makan malam kelas premium, bahkan membeli produk perawatan pribadi seperti cellulite butter. Seluruh tagihan itu kemudian ia ajukan kepada JPMorgan sebagai biaya yang harus diganti. Selain itu, dokumen hukum menunjukkan biaya pembelaan Javice telah menembus lebih dari US$60 juta atau sekitar Rp 1 triliun. Jumlah ini dianggap tidak masuk akal dan bahkan melebihi biaya hukum Elizabeth Holmes, pendiri Theranos, yang juga terjerat kasus penipuan besar. JPMorgan Menemukan Data Pengguna Frank Ternyata Palsu Awalnya, JPMorgan membeli Frank pada 2021 setelah Javice meyakinkan bahwa startup tersebut membantu jutaan mahasiswa Amerika mengakses bantuan pendidikan. Namun setelah akuisisi selesai, bank mulai menemukan kejanggalan. Investigasi mendalam membuktikan bahwa mayoritas data pengguna adalah palsu. Temuan itu mendorong JPMorgan menggugat Javice. Tak lama kemudian, jaksa federal membawa kasus ini ke pengadilan, hingga akhirnya Javice dinyatakan bersalah dan divonis penjara. Javice Memanfaatkan Celah Kontrak untuk Mengalihkan Biaya Hukum Situasi semakin rumit ketika Javice memenangkan gugatan yang mengharuskan JPMorgan menanggung biaya hukumnya berdasarkan klausul akuisisi Frank. Celah inilah yang kemudian digunakan untuk menyewa lima firma hukum sekaligus. Menurut pengajuan hukum terbaru, tim hukum Javice bahkan berisi 77 pengacara yang menagih bank untuk berbagai pekerjaan, termasuk jam kerja yang dibulatkan maupun biaya yang tidak transparan. Salah satu pengacara disebut menagih hingga US$2.025 per jam. JPMorgan menyatakan telah menganggarkan sekitar US$115 juta untuk membiayai proses hukum Javice dan Olivier Amar, pejabat Frank lain yang juga divonis. Bank Menilai Pengeluaran Itu Berpotensi Mencapai Nilai Penipuan JPMorgan memperingatkan bahwa jika tindakan ini tidak dihentikan, biaya hukum Javice bisa menyamai nilai kerugian yang ia timbulkan. Bank menganggap penyalahgunaan ini sebagai bentuk eksploitasi terhadap keputusan pengadilan. Akan tetapi, pihak Javice membantah tuduhan tersebut. Juru bicara Javice menyebut klaim penggunaan dana untuk produk pribadi atau hotel mewah sebagai tuduhan yang tidak relevan. Ia menegaskan bahwa Javice mengikuti semua aturan internal JPMorgan ketika masih menjadi karyawan. Tim Javice Menolak Tuduhan Penyalahgunaan Kebijakan Menurut pernyataan resmi, Javice tidak pernah meminta penggantian biaya di luar ketentuan yang diberikan bank. Pihaknya berargumen bahwa seluruh pembelian yang dilakukan selama masa kerja, termasuk es krim dan barang pribadi lain, masih sesuai dengan pedoman etik internal perusahaan. Pernyataan tersebut memicu perdebatan baru, terutama karena JPMorgan menganggap pola pengeluaran Javice sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas hukum. Kasus Ini Menjadi Pengingat Risiko Akuisisi Startup Dengan berkembangnya persidangan dan munculnya fakta baru, kasus Frank menjadi peringatan bagi lembaga keuangan maupun investor. Motif penipuan yang rapi, celah kontrak yang dimanfaatkan, serta beban biaya hukum yang membengkak menunjukkan bahwa due diligence dalam akuisisi startup harus dilakukan lebih ketat. Kasus ini juga memperlihatkan bagaimana perusahaan besar sekalipun dapat terjebak ketika data yang disajikan startup tidak diverifikasi secara menyeluruh. Business